Oleh: Tim LuarKotaX
Jakarta, LuarKotaX - Dari bisnis alas kaki polisi, Subadri mendapatkan omset Rp 100 juta perbulan.
Jakarta, LuarKotaX - Dari bisnis alas kaki polisi, Subadri mendapatkan omset Rp 100 juta perbulan.
Rumah Subadri, 54 tahun, berada di gang senggol, tepatnya di belakang Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta Selatan. Ketika masuk ke dalam rumah berukuran 3 x 5 meter, benang-benang buangan jahitan sepatu dan debu dengan mudah menempel di telapak kaki.
Ruangan rumah Subadri dipenuhi barisan sepatu kulit hitam mengkilap setinggi lutut. Sepatu-sepatu ini yang biasa dipakai polisi lalu lintas dan petugas Dinas Perhubungan (Dishub) DKI Jakarta.
“Ya, di sini kami memproduksi sepatu boot polisi yang tinggi selutut itu. Biasanya disebut sepatu tunggang. Pesanannya kebanyakan dari individu-individu di kepolisian atau Dishub,” kata Bapak 2 anak ini sambil membenarkan letak kacamatanya, Minggu (29/5/2016).
Subadri mengaku sudah memproduksi sepatu tunggang sejak 2009. Awalnya, sepatu itu dipesan salah satu Pasukan Pengamanan Presiden (Paspampres).
“Dari Paspampres itu mungkin berkembang omongan ke polisi, kalau saya jual sepatu tunggang,” jelas lelaki asal Sukabumi, Jawa Barat.
Menurut Subadri, polisi yang bertugas ke lapangan tak mendapat jatah sepatu tunggang dari instansinya. Oleh karena itu, ia yakin bisnis alas kaki polisi tak akan pernah mati. “Setiap ada perekrutan anggota baru, sudah pasti ada pesanan,” katanya sambil tersenyum.
Dalam satu hari, Subadri bisa menerima pesanan 10 pasang sepatu tunggang. Harga sepasang bisa mencapai Rp 500 ribu, tergantung jenis bahan dan ukuran. Rata-rata omset dalam satu bulan mencapai Rp 100 juta.
Subadri kemudian mengajak LuarKotaX ke dalam ruangan produksi di belakang rumah. Cetakan-cetakan sepatu atau sulas bergelantungan di balok kayu. Seorang pekerja sedang tekun mencetak sepatu tunggang.
Di lantai 2, lima orang pekerja juga sedang serius dengan pekerjaannya masing-masing. Ada yang menjahit, memotong pola sepatu, sampai mengeringkan hasil sepatu yang baru diproduksi.
Subadri mempekerjakan 15 karyawan. Sebagian besar karyawannya adalah anggota keluarga sendiri. “Sebenarnya, saya sudah menekuni bisnis alas kaki sejak 1979. Dari seorang penjual kosmetik, banting setir ke bisnis sandal karena saya lihat untungnya lebih besar berjualan sendal,” ungkapnya.
Berjualan dari pintu ke pintu
Subadri tak pernah membayangkan bisa membangun bisnis dengan skala menengah. Awalnya ia hanya ikut-ikutan teman seperantauan memproduksi sepatu di sebuah konveksi.
“Paginya saya bikin sepatu, malamnya saya jual dari rumah ke rumah,” kenang Subadri.
Tiap kali ada kegiatan pelatihan pembuatan sepatu yang diadakan pemerintah untuk industri rumah, Subadri yang mewakili. “Karena orang-orang yang bekerja di konveksi itu pada nggak mau ikut (pelatihan-red). Karena kalau ikut pelatihan mereka nggak kerja. Nggak dapat duit,” katanya.
Subadri menimba ilmu dari pelatihan-pelatihan tersebut, “Akhirnya saya nekat untuk memproduksi sendiri alas kaki.”
Modal yang dikeluarkan Subadri untuk memproduksi alas kaki berupa sandal sebesar Rp50 ribu. Kebutuhannya untuk membeli alat produksi seperti benang, gunting lem, palu, dan sulas.
“Awalnya itu saya produksi sehari dua pasang. Semuanya dikerjakan manual. Bahan-bahannya kebanyakan saya pungut dari sisa limbah pabrik sepatu di daerah Cawang,” ungkapnya.
Waktu bergulir, usaha Subadri makin berkembang. Ia mulai merekrut pekerja dari anggota keluarga sendiri.
Sekarang, sudah ada 20 anggota keluarganya yang buka usaha alas kaki sendiri dan tersebar ke pelbagai wilayah Indonesia.
“Saya bukan cuma mempekerjakan mereka, tapi juga mendidik. Jadi visi saya itu bagaimana agar mereka punya usaha sendiri. Sekarang mereka sudah buka usaha di Jakarta, Sulawesi, Jawa Barat sampai Jawa Timur,” kata Subadri.
Tak hanya mendidik anggota keluarga untuk membuka usaha secara mandiri, Subadri juga pernah melakukan di lingkungan tempat usaha. Akan tetapi gagal.
“Saya sering bikin pelatihan untuk anak-anak muda di daerah ini. Tapi, kebanyakan dari mereka mau yang hasilnya langsung, dapat uang. Ya, nggak bisa begitu, namanya usaha itu kan butuh proses,” tutupnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar