Minggu, 29 Mei 2016

Bisnis Tebal Sepatu Kumal

Oleh: Tim LuarKotaX

Jakarta, LuarKotaX - Ada berbagai kisah yang bisa diketahui hanya dengan melihat kondisi sepatu seseorang karena dapat menggambarkan kebiasaan dan kondisi seseorang. 

Hal itu adalah salah satu pelajaran yang didapat oleh Theodore Myron Tangkere Tangouw, 22 tahun, dari pengalamannya bekerja sebagai teknisi pembersih sepatu di Shoe Bible, sebuah toko dengan spesialisasi layanan membersihkan sepatu yang ada di Pasar Santa, Jakarta Selatan yang mulai dibuka sejak 2014. 

“Saya bisa lihat si pemilik sepatu perokok atau tidak. Biasanya terlihat di sol sepatunya ada banyak bekas hitam sundutan rokok, akibat menginjak dan mematikan rokoknya,” ujar mahasiswa yang akrab di panggil Myron itu. 

Ketika tim LuarKotaX menemuinya di Pasar Santa, Minggu (29/5/2016), Myron, yang menjalani pekerjaan ini sambil menjalani kuliah di fakultas hukum salah satu universitas swasta di Jakarta, sedang mengerjakan sepasang sepatu sneakers dari merek ternama yang sudah dipenuhi noda jamur. Sepatu yang sebelah kiri sudah berhasil dibersihkan sehingga terlihat sangat berbeda dengan kondisi sepatu sebelah kanan yang masih dipenuhi jamur. 

Menurut Myron, sepatu seperti itu masih tergolong mudah untuk dibersihkan, walau memang tidak akan bisa kembali seperti baru. 

“Yang paling aneh ada sepatu yang sudah kena semen dan semennya sudah kering. Kami berhasil menghilangkan semennya,” ujar Myron. 

Bisnis membersihkan alas kaki ini dapat menjadi salah satu peluang bisnis bagi pelaku usaha kecil menengah dan bisnis ini tidak akan lekang oleh jaman karena setiap orang selalu mengenakan alas kaki dan semakin tingginya kesadaran pemakainya untuk memeliharanya lebih baik. Sepatu pun saat ini tidak lagi dianggap sebagai sekadar alas kaki tapi juga sudah menjadi bagian dari gaya hidup dan berpakaian yang baik. 

Peluang bisnis ini dapat menjadi pilihan usaha dengan omzet Rp 30 juta - Rp 75 juta perbulan. 

“Bisnis ini perlu ada karena tidak semua orang mengerti cara membersihkan sepatu yang benar sesuai bahannya. Apalagi bila pemiliknya ingin sepatu bisa lebih awet,” ujar Myron. 

Semua proses pembersihan sepatu dari awal sampai akhir dikerjakan menggunakan tangan mulai dari mencuci, menyikat dan mengeringkan sepatu. Satu pasang sepatu memerlukan waktu antara dua hingga tiga jam untuk dibersihkan tergantung kondisi dan bahan sepatu. 

“Dari segi bahan, yang paling sulit dibersihkan adalah yang terbuat dari suede atau nubuck,” ujar Myron.    

Saat ini gerai Shoe Bible sudah tersebar di sembilan lokasi di Jakarta, Yogyakarta dan Padang, Sumatra Barat. Pemiliknya adalah Yenda Hariaman yang memulai bisnis ini bersama temannya, Dian Maya. Keduanya adalah mantan karyawan produsen sepatu ternama di Banten. 

Tarif jasa membersihkan sepatu ini mulai dari Rp 35.000 untuk sistem cuci cepat hingga Rp 147.000 untuk bahan kulit dan suede yang menggunakan bahan pencuci khusus. Shoe Bible juga melayani pengambilan sepatu di tempat atau layanan kirim untuk maksimal 3 pasang sepatu. 

Myron mengatakan dalam sehari pernah ada pelanggan yang mengantarkan 24 pasang sepatu sekaligus untuk dibersihkan dengan model dan bahan yang beragam mulai dari sepatu kulit hak tinggi hingga sepatu olahraga untuk lari. 

Shoe Bible mempekerjakan empat teknisi untuk membersihkan sepatu yang bekerja bergantian paruh waktu. 

Bagi yang tidak sempat mengirim atau mengantar sepatunya ke gerai Shoe Bible, Myron memberikan tips singkat untuk perawatan sepatu agar sepatu kesayangan Anda awet. 

“Bila basah, jangan dijemur dan jangan terpapar matahari. Cukup diangin-anginkan saja atau dikeringkan dengan pengering rambut atau kipas angin.” 

Alas Kaki Pembawa Rezeki


Meraup Untung dari Alas Kaki Polisi


Oleh: Tim LuarKotaX

Jakarta, LuarKotaX - Dari bisnis alas kaki polisi, Subadri mendapatkan omset Rp 100 juta perbulan.

Rumah Subadri, 54 tahun, berada di gang senggol, tepatnya di belakang Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta Selatan. Ketika masuk ke dalam rumah berukuran 3 x 5 meter, benang-benang buangan jahitan sepatu dan debu dengan mudah menempel di telapak kaki.

Ruangan rumah Subadri dipenuhi barisan sepatu kulit hitam mengkilap setinggi lutut. Sepatu-sepatu ini yang biasa dipakai polisi lalu lintas dan petugas Dinas Perhubungan (Dishub) DKI Jakarta.

“Ya, di sini kami memproduksi sepatu boot polisi yang tinggi selutut itu. Biasanya disebut sepatu tunggang. Pesanannya kebanyakan dari individu-individu di kepolisian atau Dishub,” kata Bapak 2 anak ini sambil membenarkan letak kacamatanya, Minggu (29/5/2016).

Subadri mengaku sudah memproduksi sepatu tunggang sejak 2009. Awalnya, sepatu itu dipesan salah satu Pasukan Pengamanan Presiden (Paspampres). 

“Dari Paspampres itu mungkin berkembang omongan ke polisi, kalau saya jual sepatu tunggang,” jelas lelaki asal Sukabumi, Jawa Barat.

Menurut Subadri, polisi yang bertugas ke lapangan tak mendapat jatah sepatu tunggang dari instansinya. Oleh karena itu, ia yakin bisnis alas kaki polisi tak akan pernah mati. “Setiap ada perekrutan anggota baru, sudah pasti ada pesanan,” katanya sambil tersenyum.

Dalam satu hari, Subadri bisa menerima pesanan 10 pasang sepatu tunggang. Harga sepasang bisa mencapai Rp 500 ribu, tergantung jenis bahan dan ukuran. Rata-rata omset dalam satu bulan mencapai Rp 100 juta.

Subadri kemudian mengajak LuarKotaX ke dalam ruangan produksi di belakang rumah. Cetakan-cetakan sepatu atau sulas bergelantungan di balok kayu. Seorang pekerja sedang tekun mencetak sepatu tunggang.

Di lantai 2, lima orang pekerja juga sedang serius dengan pekerjaannya masing-masing. Ada yang menjahit, memotong pola sepatu, sampai mengeringkan hasil sepatu yang baru diproduksi.

Subadri mempekerjakan 15 karyawan. Sebagian besar karyawannya adalah anggota keluarga sendiri. “Sebenarnya, saya sudah menekuni bisnis alas kaki sejak 1979. Dari seorang penjual kosmetik, banting setir ke bisnis sandal karena saya lihat untungnya lebih besar berjualan sendal,” ungkapnya.

Berjualan dari pintu ke pintu

Subadri tak pernah membayangkan bisa membangun bisnis dengan skala menengah. Awalnya ia hanya ikut-ikutan teman seperantauan memproduksi sepatu di sebuah konveksi. 

“Paginya saya bikin sepatu, malamnya saya jual dari rumah ke rumah,” kenang Subadri.

Tiap kali ada kegiatan pelatihan pembuatan sepatu yang diadakan pemerintah untuk industri rumah, Subadri yang mewakili. “Karena orang-orang yang bekerja di konveksi itu pada nggak mau ikut (pelatihan-red). Karena kalau ikut pelatihan mereka nggak kerja. Nggak dapat duit,” katanya.

Subadri menimba ilmu dari pelatihan-pelatihan tersebut, “Akhirnya saya nekat untuk memproduksi sendiri alas kaki.”

Modal yang dikeluarkan Subadri untuk memproduksi alas kaki berupa sandal sebesar Rp50 ribu. Kebutuhannya untuk membeli alat produksi seperti benang, gunting lem, palu, dan sulas. 

“Awalnya itu saya produksi sehari dua pasang. Semuanya dikerjakan manual. Bahan-bahannya kebanyakan saya pungut dari sisa limbah pabrik sepatu di daerah Cawang,” ungkapnya.

Waktu bergulir, usaha Subadri makin berkembang. Ia mulai merekrut pekerja dari anggota keluarga sendiri.

Sekarang, sudah ada 20 anggota keluarganya yang buka usaha alas kaki sendiri dan tersebar ke pelbagai wilayah Indonesia.

“Saya bukan cuma mempekerjakan mereka, tapi juga mendidik. Jadi visi saya itu bagaimana agar mereka punya usaha sendiri. Sekarang  mereka sudah buka usaha di Jakarta, Sulawesi, Jawa Barat sampai Jawa Timur,” kata Subadri.

Tak hanya mendidik anggota keluarga untuk membuka usaha secara mandiri, Subadri juga pernah melakukan di lingkungan tempat usaha. Akan tetapi gagal. 

“Saya sering bikin pelatihan untuk anak-anak muda di daerah ini. Tapi, kebanyakan dari mereka mau yang hasilnya langsung, dapat uang. Ya, nggak bisa begitu, namanya usaha itu kan butuh proses,” tutupnya.

Sepatu 'Buluk' Jadi 'Kinclong' di Shoe Bible






Ide Bisnis Gila Anak Muda


Sabtu, 28 Mei 2016

Komnas Perempuan: Perppu Kebiri Bukan Jawaban


Belajar dari kasus perkosaan sadis YY, Presiden Joko Widodo menandatangani Peraturan Pengganti Perundang-undangan (Perppu) Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Perppu ini dikenal dengan sebutan Perppu Kebiri.

YY adalah anak perempuan berusia 14 tahun yang tewas diperkosa 14 orang lelaki, April lalu. Di antara lelaki itu adalah anak dibawah umur. Kasus ini sudah ditangani pihak Polda Bengkulu. Semua tersangka sudah ditangkap dan diitetapkan menjadi tersangka. 

Kasus YY memancing kemarahan publik, sehingga sejak April lalu ada wacana memberikan hukuman kebiri ke pelaku kekerasan seksual. Sebab kekerasan seksual, bukan hanya menghancurkan korban dan keluarganya, tetapi juga menghancurkan masa depan pelaku dan keluarganya. Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mencatat dalam kurun 10 tahun, terdapat 93 ribu kasus kekerasan seksual, 70 persen pelaku adalah anggota keluarga dan orang-orang dekat.

Komnas Perempuan menemukan kasus kekerasan seksual paling banyak terjadi dalam kehidupan pribadi. Pelaku kebanyakan datang dari orang terdekat yang memiliki hubungan darah. Semisal seperti ayah, kakak, adik, paman, kakek, kekerabatan, suami, dan pacar. 

Ketua Subkomisi Partisipasi Masyarakat Komnas Perempuan, Mariana Amiruddin kaget dengan temuan komnas perempuan itu. Perempuan berkulit putih itu mengatakan pelaku kekerasan seksual yang merupakan orang terdekat mematahkan mitos rumah adalah tempat yang paling aman. 

Di balik jumlah kekerasan seksual pada perempuan yang terus meningkat, justru akses hukum untuk menangani hal tersebut masih terhambat. Sehingga keinginan korban untuk mengadu atau melaporkan kasusnya minim. Akses untuk mendapat keadilan, dan memulihkan pun mandek.

“40 persen laporan di kepolisian tentang kekerasan seksual mandek. Karena perempuan yang melapor ditanya yang tidak-tidak, jadi mending menyerah tidak melaporkan lagi,” kata Mariana, Sabtu (29/5/2016) malam.

Komnas Perempuan menilai penerapan Perppu Kebiri bukan solusi untuk membuat ‘predator’ jera. Mariana menilai lebih baik pemerintah memikirkan cara memberikan perlindungan korban kekerasan seksual.

Mariana khawatir pemberlakuan Perppu semata-mata untuk merespon desakan emosional publik. Sebab dia menilai penegakan hukum di Indonesia masih belum baik. 

“Cara pandang negara salah terhadap persoalan Kekerasan Seksual yang sudah lama terjadi, hanya sebagai persoalan penjeraan pelaku semata. Sementara faktor lain, seperti aspek yang menjadi penyebab perempuan dan anak rentan menjadi korban kekerasan, aspek pencegahan, pelayanan yang prima terhadap korban dan pemulihan tidak mendapat perhatian,” kata dia.

Komnas Perempuan minta penegakan hukum tegas. Sebab sudah banyak UU yang bisa ditegakan untuk menghukum pelaku. Di antaranya KUHP, UU Penghapusan KDRT, UU Perlindungan Anak dan UU Penghapusan Tindak Pidana Perdagangan Orang.

“Dengan ditandatanganinya Perpu kebiri kimia hari ini oleh Presiden menandakan bahwa, kekerasan seksual tidak dilihat sebagai konsep penyerangan atas tubuh manusia melalui tindakan seksual melainkan semata-semata soal libido yang sebetulnya adalah mitos belaka,” papar dia.